Sabtu, 28 Januari 2012

Surat Evo Morales Untuk Masyarakat Adat


Saudara-saudara Masyarakat Adat di seluruh dunia:


Saya memiliki kekhawatiran mendalam karena beberapa pihak sedang menggunakan tetua dan masyarakat adat untuk mempromosikan komodifikasi alam dan terutama hutan melalui pembentukan mekanisme REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation) dengan beberapa versinya seperti REDD+ dan REDD++.



Saat ini, hutan dan hutan hujan setara dengan 36.000 lapangan bola menghilang setiap harinya. Setiap tahun terdapat 13 juta hektar hutan dan hutan hujan menghilang. Dengan laju seperti ini, seluruh hutan akan lenyap pada akhir abad ini.



Hutan dan hutan hujan adalah sumber keanekaragaman hayati terbesar. Jika deforestasi berlanjut, ribuan species, hewan dan pepohonan akan lenyap selamanya. Lebih dari tiga perempat air yang dapat diakses berasal dari kawasan tangkapan di hutan, jadi kualitas air menjadi buruk jika kondisi hutan menurun. Hutan memberikan perlindungan terhadap banjir, erosi dan bencana alam. Hutan juga memberikan produk bukan kayu sekaligus produk kayu. Hutan adalah sumber dari obat-obatan alami dan elemen penyembuhan yang belum banyak ditemukan.Hutan dan hutan hujan adalah paru-paru dari atmosfer. 18 persen dari emisi gas rumah kaca yang terdapat di bumi disebabkan oleh deforestasi.



Saat ini, melalui negosiasi perubahan iklim setiap orang mengetahui bahwa adalah suatu hal yang penting untuk meghindari deforestasi dan degradasi hutan. Tetapi, untuk mencapai hal ini, beberapa pihak mengusulkan untuk melakukan komodifikasi hutan dengan argumen yang salah yakni hanya sesuatu yang memiliki harga dan pemilik yang penting untuk diselamatkan.



Usulan mereka adalah untuk mempertimbangkan hanya satu fungsi dari hutan, yakni kemampuannya untuk menyerap carbon dioksida, dan isu ‘sertifikat’, ‘credit’ tau ‘hak carbon’ dapat diperjual belikan di pasar karbon. Dengan jalan seperti ini, perusahaan dari Utara memiliki pilihan yakni dengan melakukan penurunan emisinya atau dengan membeli ‘sertifikat REDD’ di Selatan sesuai kenyamanan ekonomi mereka. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan harus menginvestasikan sebesar Rp.400.000 atau Rp.500.000 untuk menurunkan emisi CO2 setiap satu ton-nya di ‘negara maju’, mereka akan memilih untuk membeli sebuah “sertifikat REDD’ seharga Rp.100.000 – Rp.200.000 di ‘negara berkembang’. Dengan demikian mereka bisa mengatakan bahwa mereka telah memenuhi penurunan emisi yang terdapat dalam sertifikat.



Melalui mekanisme ini, Negara maju akan menyerahkan kewajiban menurunkan emisi kepada negara berkembang, sekali lagi negara selatan akan membiayai negara utara dan perusahaan dari negara utara akan menyimpan banyak uang dengan jalan membeli ‘sertifikat’ karbon dari hutan di negara selatan. Meskipun demikian, mereka tidak saja melakukan kecurangan terhadap komitmen menurunkan emsisi tetapi mereka juga akan memulai komodifikasi alam lewat hutan.



Hutan akan mulai untuk dilabelkan harga dengan kemampuan menyerap karbon per ton-nya. ‘Credit’ atau ‘hak karbon’ yang mensertifikasi kapasitas menyerapan karbon akan dibawa dan dijual diseluruh dunia layaknya komoditas lainnya. Unutk memastikan bahwa tidak ada seorang pun terkena dampak dari pembeli sertifikat REDD, seperangkat aturan akan diberikan yang sebenarnya akan derdampak pada hak kedaulatan negeri dan masyarakat adat atas hutan dan hutan hujan. Jadi memulai sebuah ranah baru privatisasi atas alam yang belum pernah ada sebelumnya kemudian akan meluas sampai pada air, keanekaraman hayati dan segala sesuatu apa yang mereka sebut dengan ‘jasa layanan lingkungan’.



Sementara kita menyatakan bahwa kapitalisme adalah penyebab pemanasan global dan penghancuran hutan, hutan hujan dan Ibu Pertiwi, mereka berusaha memperluas kapitalisme untuk melakukan komodifikasi alam dengan istilah ‘ekonomi hijau’.



Untuk mendapatkan dukungan untuk mengkomodifikasi alam, beberapa lembaga keuangan, pemerintah, LSM, yayasan, ‘ahli’ dan trading company sedang menawarkan sebuah persentase dari keuntungan dari komodifikasi alam kepada masyarakat adat dan komunitas yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan hutan hujan.



Alam, hutan dan masyarakat adat tidak untuk dijual.



Selama berabad-abad, masyarakat adat hidup dengan melestarikan dan memulihkan hutan alam dan hutan hujan. Bagi kita hutan dan hutan hujan bukanlah objek, bukan pula hal yang anda bisa labelkan harga dan privatisasi. Kami tidak menerima jika hutan asli dan hutan hujan direndahkan fungsinya sebagai alat ukur sederhana jumlah karbon. Kami juga tidak menerima jika hutan asli disamakan dengan perkebunan sejenis atau dua jenis pohon sederhana. Hutan adalah rumah kita, sebuah rumah besar dimana pepohonan, hewan, air, tanah, udara segar dan manusia berdampingan.



Adalah hal yang teramat penting bahwa seluruh negeri di dunia bekerja bersama untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan dan hutan hujan. Adalah sebuah kewajiban bagi negara maju, dan adalah bagian dari utang ekologis dan utang iklim, untuk berkontribusi secara finansial dalam melestarikan hutan, tetapi bukan dengan jalan melakukan komodifikasi. Ada banyak jalan untuk mendukung dan membiayai negara berkembang, masyarakat adat dan komunitas local yang berkontribusi pada pelestarian hutan.



Negara maju menghabiskan sepuluh kali lipat sumber pendanaan publiknya untuk kepentingan pertahanan, keamanan dan perang daripada menggunakannya untuk perubahan iklim. Bahkan selama krisis keuangan banyak yang mempertanahkan dan justru menambah anggaran militernya. Hal ini tidak dapat diterima bahwa menggunakan kebutuhan komunitas dan ambisi beberapa tetua dan ahli masyarakat adat, masyarakat adat diharapkan terlibat dalam komodifikasi alam.



Seluruh mekanisme perlindungan hutan dan hutan hujan seharusnya menjamin hak-hak dan partisipasi masyarakat adat, bukan karena partisipasi msyarakat adat telah dicapai dalam REDD, kita bisa menerima bahwa harga dari hutan dan hutan hujan telah dicapai dan dinogosiasikan dalam pasar karbon global.



Saudara Masyarakat Adat, mari jangan bingung. Beberapa pihak mengatakan pada kita bahwa mekanisme pasar karbon dalam REDD akan sukarela. Hal tersebut sebenarnya untuk mengatakan bahwa siapa saja yang ingin menjual dan membeli, akan dapat bagian, dan siapa saja yang tidak menginginkannya, akan terpinggirkan. Kita tidak bisa menerima hal ini, dengan persetujuan kita, sebuah mekanisme dibuat dimana satu pihak menjual Ibu Pertiwi secara sukarela sementara yang lain menontonnya.



Dihadapkan pada pandangan reduksionis terhadap komodifikasi hutan dan hutan hujan, masyarakat adat dersama petani dan gerakan social di seluruh dunia harus melawan dengan jalan mendorong usulan yang yang muncul pada Konferensi Rakyat se-Dunia tentang Perubahan Iklim dan Hak Ibu Pertiwi:



1. Pengelolaan terintegrasi atas hutan dan hutan hujan tidak saja mempertimbangkan fungsi mitigasi-nya sebagai penyerap CO2 tetapi juga seluruh fungsi dan kemampuannya, sementara menghindari kerancuannya dengan perkebunan sederhana.
2. Menghormati kedaulatan negara berkembang dalam melaksanakan pengelolaan hutan terintegrasi
3. Pemenuhan hak-hak masyarakat adat yang dikukuhkan dalam Deklarasi PBB untuk Hak Masyarakat Adat, Konvensi ILO No. 169 dan perangkat internasional lainnya; mengakuan dan penghormatan terhadap teritori masyarakat adat; penilaian aset dan pelaksanaan pengetahuan asli untuk pelestarian hutan; partisipasi masyarakat adat dan pengelolaan adat terhadap hutan dan hutan hujan.
4. Membiayaan dari negara maju kepada negara berkembang dan masyarakat adat untuk pengelolaan hutan terintegrasi sebagai bagian dari utang iklim dan utang ekologis. Tanpa membentukan segala mekanisme pasar karbon atau ‘insentif’ yang dapat menyebabkan komodifikasi hutan dan hutan hujan.
5. Pengakuan terhadap hak Ibu Pertiwi, termasuk hutan, hutan hujan dan segala komponennya. Dalam rangka untuk memulihkan harmonu dengan Ibu Pertiwi, melabelkan harga pada alam bukanlah jalannya melainkan dengna mengakui bahwa tidak hanya manusia yang memilihi hak untuk hidup dan bereproduksi, tetapi alam juga memliki hak untuk hidup dan beregenerasi, dan tanpa Ibu Pertiwi manusia tidak dapat hidup.



Saudara-saudara Masyarakat Adat, bersama dengan saudaha kita dari petani dan gerakan social di seluruh dunia, kita harus mobilisasi sehingga kesimpulan dari Cochabamba dipertimbangkan di Cancun dan mendorong sebuah mekanisme aksi terkait hutan berbasis pada lima prinsip diatas, sementara itu pertahankan persatuan yang tinggi diantara masyarakat adat dan prinisip penghormatan terhadap Ibu Perwiti, dimana selama berabad-abad telah kita pelihara dan wariskan dari para leluhur.

Evo Morales Ayma
Presiden Bolivia

(sumber: http://climateandcapitalism.com/)
terjemahan bebas oleh Agung Wardana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar